Headline News

Minggu, 19 Februari 2012

Sejarah Terpendam di Lubuak Minturun



Mata lelaki tua itu merawang, seperti sedang membolak-balik fikirannya ke lembaran di masa lalu. Ia mencoba menyusun kembali kenangan masa lalunya sejak ia dilahirkan di kampung pinggir sungai itu. Umur lelaki itu sudah kepala delapan. Tepatnya 84 tahun. Usia itu membuat ia menjadi orang tertua yang masih hidup di Kampuang Aie Dingin, Kelurahan Lubuk Minturun Kecamatan Koto Tangah Kota Padang saat ini. Namun di usia tersebut Syuib, alias Ayah Uwi, demikian penduduk sekitar memanggilnya terlihat fasih berbicara. Tubuhnya masih kekar, matanya masih nyalang dan pendengarannya pun masih nyaring.

" Lubuk Minturun dijadikan lokasi pemandian rakyat sejak saya berusia empat tahun," katanya memulai cerita tentang Kawasan Objek Wisata pemandian di pinggir Kota Padang tersebut, Minggu (8/1).

Ia masih ingat ketika itu tahun 1931, Pemerintah Kolonial Belanda membangun kawasan itu sebagai lokasi pemandian rakyat dengan membangun dinding-dinding sebagai benteng penahan tebing sungai. Konstruksi bangunan dinding penahan tebing itu puingnya hingga kini masih bisa dilihat di beberapa titik.



Apa Alasan Pemerintahan Kolonial Membangun Pemandian Rakyat?

Ayah Uwi kembali mencoba membalik memori mengingat alasan pemerintahan kolonial Belanda membangun kawasan itu menjadi lokasi pemandian yang hingga sekarang tetap bertahan meskipun tak banyak kemajuan dan perubahan.

" Ini tidak terlepas dari peran seorang asisten Demang pada waktu itu yang berasal dari India dan ada kaitannya dengan proses mandi ke Sungai Gangga. Orang-orang "Kaliang" menjadikannya sebagai lokasi pemandian dalam melaksanakan ritual itu," tuturnya.

Sebagai Asisten Demang atau Demang kecil, orang Kaliang (sebutan masyarakat Minang untuk orang-orang dari India atau keturunannya yang dilandasi faktor warna kulit) itu meminta Demang yang berkedudukan di Padang membangun lokasi itu.

" Akhirnya Pemerintah kolonial mengabulkannya dan tempat yang semula hanya dijadikan sebagai tepian mandi warga sekitar menjadi ramai oleh orang-orang India pada hari-hari tertentu," lanjutnya.

Asal nama Lubuak Minturun

Bercerita tentang tempat pasti akan menyinggung masalah nama. Demikian juga ketika perbincangan dengan Ayah Uwi tentang Lubuak Minturun semakin akrab. Menurut lelaki yang masih kuat mengolah kebun ini, semula tempat itu hanya dikenal sebagai lubuk (titik sungai dengan bagian dasar paling dalam dan bertebing curam). Pada salah satu tebingnya, terdapat sebuah pohon Mintungan besar yang sudah condong ke arah sungai. Lokasi tepatnya berada di sekitar lokasi pemandian yang ada sekarang ini. Kecondongan pohon besar tersebut menjadikan salah satu dahannya bisa dijadikan sebagai titian (jembatan) turun menuju tepian sungai ketika masyarakat hendak mandi. Dengan kebiasaan sebutan sehari-hari, lubuk dengan pohon Mintungan yang dijadikan sebagai titian turun mandi itu, maka masyarakat terbiasa menyebutnya dengan Lubuak Mintungan turun yang akhirnya terbiasa dengan Lubuak Minturun.

Mengapa Disebut Juga Lubuak Lukum, Lukun dan Balukun?

Lelaki tua yang sempat menamatkan SR ini tersenyum. Ia seolah kembali mengingat masa kecil hingga masa remajanya di kampung di pinggir Lubuk itu. Ia dengan bangga menyebutkan tamat SR di zaman penjajahan sudah hampir sama dengan tamat SLTA sekarang ini. Namun sekolah di jaman itu sangatlah mahal. Beruntung ayahnya adalah seorang Kadi (penghulu nikah) sehingga ia bisa menikmati bangku pendidikan. Dengan demikian ia bisa lebih mengerti arti dan istilah dalam bahasa asing.

Di salah satu bagian dinding tebing ada tulisan "WELCOME" yang diukir sebagai pelengkap arsitektur kawasan pemandian. Maksudnya tentu saja adalah mengucapkan selamat datang kepada para pengunjung yang pada waktu itu adalah warga keturunan India yang menjadikan lokasi itu sebagai tempat melaksanakan ritual. Karena kebiasaan dialektikal, masyarakat membacanya dengan "Balukum", Lukum dan Lukun. Akhirnya Lubuak Lukun atau Lubuak Balukun menjadi nama lain dari Lubuk Minturun dan masih dikenal oleh kalangan orang-orang tua di kampung itu.

Cerita Ayah Uwi tentang Lubuak Minturun dan asal namanya bisa diyakini mengingat kefasihan lelaki yang pernah menjadi Ketua Pemuda dan Wali Kampung ini serta daya ingatnya yang masih tajam. Bukan kali ini saja ia bercerita tentang Lubuk Minturun. Beberapa kali ia pernah ditanya dan berbincang-bincang dengan mahasiswa yang sedang menyusun skripsi. Ia menjadi Ketua Pemuda ketika zaman pendudukan Jepang di Indonesia dan menjadi Wali Kampung pada zaman pergolakan kemerdekaan. Ia menjadi Kepala Kampung lebih dari dua puluh tahun.

Di awal bermulanya pemerintahan Orde Baru yaitu sekitar tahun 1971, menurut Ayah Uwi, pemerintah RI mulai melirik kawasan ini sebagai lokasi wisata yang patut dikembangkan sehingga dibangunlah beberapa fasilitas. Namun dalam perjalanan, perkembangannya tidak begitu menggembirakan.

Sampai sekarang Kawasan Pemandian Lubuk Minturun yang cukup dikenal tersebut, masih tetap hanya sekedar lokasi pemandian biasa. Beberapa fasilitas tambahan yang sudah ada, terlihat hanya sebagai pelengkap saja. Seperti fasilitas Kamar Ganti yang hanya dua kamar kecil, tentu tidak akan mampu menjawab kebutuhan pengunjung yang pada waktu tertentu bisa mencapau ribuan orang. Selain itu ternyata pengelolaan kawasan ini belum begitu terkoordinir dengan baik. Sebagai tetua masyarakat, Ayah Uwi berharap pengembangannya dapat semakin meningkat dengan pengelolaan lebih baik lagi sehingga bisa memberikan dampak ekonomi yang lebih besar lagi terhadap masyarakat sekitar. (padangmedia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons